
Aris Munandar S.Sos, Researcher Of IWDN Hub
Diskursus mengenai kebangkitan Islam di abad ke-21 sering kali diwarnai dengan paradoks. Umat Islam di berbagai belahan dunia menghadapi tantangan serius berupa konflik berkepanjangan, kesenjangan sosial-ekonomi, dan keterbelakangan pendidikan. Namun, di saat yang sama, Islam menunjukkan vitalitas baru yang justru berakar pada nilai-nilai budaya dan solidaritas komunitas. Dalam konteks ini, cultural diplomacy (diplomasi budaya) dan community resilience (ketahanan komunitas) muncul sebagai dua instrumen penting yang dapat membuka jalan bagi kebangkitan Islam yang damai, inklusif, dan berdaya saing global.
Secara historis, Islam telah membuktikan dirinya sebagai agama dan peradaban yang tumbuh melalui interaksi lintas budaya. Dari Andalusia hingga Nusantara, perkembangan Islam berlangsung bukan hanya melalui kekuatan politik, melainkan melalui penyebaran ilmu pengetahuan, seni arsitektur, sastra, serta jaringan perdagangan. Inilah bentuk awal dari diplomasi budaya Islam yang mengedepankan pertukaran nilai dan harmoni antarperadaban. Jejak ini relevan untuk dibangkitkan kembali pada abad ke-21, ketika dunia sedang mencari model peradaban yang mampu menjembatani perbedaan tanpa mengorbankan identitas.
Data demografi mendukung pentingnya kebangkitan Islam. Laporan Pew Research Center (2023) menunjukkan bahwa jumlah umat Islam di dunia mencapai hampir 2 miliar jiwa, atau sekitar 24% dari total populasi global. Pertumbuhan ini diproyeksikan akan terus meningkat, sehingga Islam berpotensi menjadi agama terbesar di dunia pada pertengahan abad ke-21. Potensi tersebut tidak hanya berarti angka statistik, melainkan juga kekuatan kultural yang dapat memberi warna pada tatanan global. Dalam konteks ini, cultural diplomacy bisa menjadi medium strategis untuk mengubah persepsi dunia yang kerap mengasosiasikan Islam dengan konflik dan radikalisme.
Indonesia, sebagai negara berpenduduk Muslim terbesar, telah memainkan peran nyata dalam diplomasi budaya Islam. Melalui organisasi seperti Nahdlatul Ulama (NU) dan Muhammadiyah, Indonesia membawa narasi Islam moderat ke forum internasional. NU, misalnya, aktif mengusung gagasan Humanitarian Islam yang menekankan nilai kemanusiaan universal. Sementara itu, Muhammadiyah mendorong pendidikan dan kesehatan sebagai basis diplomasi lunak yang memperlihatkan wajah Islam yang berkemajuan. Pemerintah Indonesia pun menjadikan Islam moderat sebagai aset diplomasi global, misalnya dalam peran aktif di G20, dialog lintas agama, hingga kontribusi pada isu perubahan iklim. Semua ini memperlihatkan bagaimana Islam dapat hadir bukan sebagai ancaman, melainkan sebagai mitra bagi peradaban dunia.
Namun, kebangkitan Islam tidak hanya ditentukan oleh diplomasi budaya di panggung global. Ketahanan komunitas (community resilience) juga menjadi fondasi penting, terutama bagi masyarakat Muslim yang hidup di wilayah pasca-konflik. Studi yang dilakukan UNDP (2022) menemukan bahwa pemulihan komunitas di Suriah, Irak, dan Afghanistan tidak hanya bergantung pada rekonstruksi fisik, melainkan juga pada pemulihan simbol budaya seperti masjid, madrasah, dan pusat komunitas. Restorasi simbol ini berperan besar dalam memperkuat kohesi sosial dan memulihkan identitas kolektif yang sempat terpecah akibat konflik. Dengan kata lain, kebangkitan Islam bermula dari akar rumput, dari komunitas yang kembali menemukan makna dan harapan melalui simbol-simbol kebersamaan.
Dalam perspektif teori, pendekatan ini dapat dijelaskan melalui konsep civilizational resilience atau ketahanan peradaban. Samuel Huntington, meski sering dipandang kontroversial, mengakui bahwa Islam adalah salah satu peradaban besar yang mampu bertahan dari guncangan sejarah. Studi kontemporer dalam resilience studies menekankan bahwa suatu komunitas mampu bertahan bukan hanya karena kekuatan material, melainkan karena daya adaptasi budaya, jejaring sosial, dan kemampuan membangun makna bersama. Islam, dengan tradisi solidaritas sosialnya—mulai dari zakat, wakaf, hingga gotong royong memiliki fondasi kuat untuk membangun ketahanan komunitas di era global.
Contoh konkret dapat ditemukan di berbagai belahan dunia Islam. Di Palestina, komunitas lokal mempertahankan identitas mereka melalui pemeliharaan masjid, sekolah, dan tradisi keagamaan meski hidup di bawah tekanan. Di Bosnia, masjid dan pusat budaya yang hancur akibat perang direstorasi sebagai simbol kebangkitan identitas Muslim Eropa. Di Indonesia, pesantren menjadi ruang resilien yang mampu mencetak generasi baru meski menghadapi arus globalisasi digital. Semua ini menunjukkan bahwa ketahanan komunitas bukan sekadar bertahan, melainkan juga kemampuan untuk bangkit lebih kuat dan relevan dengan zaman.
Dengan demikian, kebangkitan Islam di abad ke-21 tidak dapat hanya dilihat dari aspek politik atau ekonomi. Justru yang lebih menentukan adalah kekuatan budaya dan ketahanan sosial. Cultural diplomacy memberikan wajah Islam yang moderat, ramah, dan inklusif di panggung global. Sementara itu, community resilience memastikan bahwa umat Islam di akar rumput memiliki daya tahan untuk menghadapi krisis dan mampu membangun kembali kehidupannya. Keduanya saling melengkapi: diplomasi budaya membangun citra positif di luar, sementara ketahanan komunitas menguatkan basis dari dalam. Abad ke-21 bisa menjadi momentum kebangkitan Islam jika kedua pendekatan ini terus digarap dengan konsisten. Islam dapat kembali tampil bukan sebagai objek wacana negatif, melainkan sebagai subjek peradaban yang memberi solusi. Tantangan dunia modern mulai dari konflik identitas, ketidaksetaraan global, hingga perubahan iklim membutuhkan kontribusi nilai-nilai universal Islam seperti keadilan, solidaritas, dan kasih sayang. Apabila cultural diplomacy dan community resilience dijadikan strategi bersama, maka umat Islam dapat menjawab stigma kemunduran dan justru menawarkan harapan bagi dunia yang tengah dilanda ketidakpastian.